Sabtu, 19 Juli 2008

Bab 6: Titik Terang Itu Akhirnya Datang Juga

Keesokan harinya, tersiar kabar, bahwa ada yang meninggal lagi. Yaitu Kevin, teman sekamar Ken. Ia ditemukan di toilet asrama putra, dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Sama dengan korban-korban yang sebelumnya. Di perutnya, tertancap sebuah kapak, sampai tembus ke punggungnya.

Banyak siswa dan siswi yang menyaksikan.

Sandra dan Sisy ingin tau, kondisi mayat tersebut. Mereka segera pergi ke asrama putra.

Ih, kasihan sekali, yah..,” kata Sisy, saat sampai di tempat.

Ya. Sangat kasihan,” tambah Sandra.

Ken melihat Sandra berdiri di dekat jenazah Kevin. Dia menyapanya. Tapi, Sandra pura-pura tidak mendengarnya. Ia malah mendekati jenazah Kevin, dan jongkok di dekatnya. Ia mengamati jenazah itu. “Nah, aku tau sekarang!” kata Sandra tiba-tiba. “Ken!” panggil Sandra.

Ken tidak langsung mendekati Sandra. Dia masih bingung. Bukankah Sandra tidak ingin bertemu dengannya.

Ken!” ulang Sandra.

Kau memanggilku?” tanya Ken.

Tentu saja. Memangnya, Ken yang mana lagi, yang ku kenal selain dirimu?” jawab Sandra. “Kemarilah! Ada yang perlu kita periksa lagi.”

Dengan hati berbunga-bunga, Ken mendekati Sandra, lalu jongkok di samping gadis itu. “Apa yang perlu kita periksa?” tanya Ken. Kali ini, ia serius dengan apa yang harus dia selidiki bersama Sandra.

Kapaknya,” jawab Sandra, yakin.

Kapak?”

Iya. Kita periksa sidik jarinya. Ayo, kita bawa dia ke rumah sakit!”

Ayo!” Dengan senang hari, Ken menerima ajakan Sandra. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya, sedari dulu.

Setelah mendapat izin dari Kepala Asrama, mereka menghubungi rumah sakit, dan meminta ambulance untuk datang. Selang beberapa jam kemudian, ambulance datang.


Di rumah sakit, Kevin diautopsi. Ternyata, luka yang diderita Kevin, bukan hanya karena tusukan kapak. Tapi juga karena pukulan sebuah benda tumpul. Sandra dan Ken jadi tambah bingung dengan misteri ini.

Kalau Kevin dipukul dulu sebelum ditusuk, berarti Kevin sempat melihat pembunuh itu,” ujar Sandra pelan.

Benar juga,” timpal Ken.

Seandainya ada alat yang bisa memanggil arwah Kevin..”

Mendengar kata-kata Sandra, Ken hanya diam, tanpa komentar sedikit pun.


Setelah dari rumah sakit, Sandra dan Ken ke kantor polisi, dengan membawa kapak yang masih berlumuran darah, dan dibungkus dengan tas plastik ukuran besar.

Di kantor polisi, mereka juga melaporkan kasus pembunuhan itu, dan menceritakannya secara detail dan jelas. Mereka juga menyerahkan kapak itu, sebagai bukti, dan untuk diperiksa sidik jarinya.

Pemeriksaan selesai. Tapi hasilnya nihil. Sungguh mengecewakan. Tidak ada sidik jari pada pegangan kapak itu.

Rupanya, si pembunuh begitu cerdik dan teliti. Ia tau, kalau alat yang digunakan untuk membunuh itu, akan diperiksa sidik jarinya. Jadi, ada kemungkinan, kalau si pembunuh menggunakan sarung tangan, supaya tidak diketahui sidik jarinya.

Heh..kasus ini begitu rumit. Aku jadi pusing tujuh keliling,” kata Ken.

Selama misteri ini belum terungkap, aku tidak akan menyerah. Aku harus menemukan pembunuhnya, dan menangkapnya, sampai ketemu. Kalau aku sudah menemukan dia, aku akan membalas kematian guru-guru kita, dan teman kita. Aku tidak mau kalau polisi hanya memberikan hukuman seumur hidup, atau hukuman eksekusi mati. Dia harus merasakan sakitnya ditusuk dengan kapak sampai tembus dan mati. Seperti yang ia lakukan pada para korbannya.” Kata-kata Sandra ini, menunjukkan sebuah keseriusan yang begitu mendalam.

Ken sendiri tidak berkomentar apa-apa.

Tidak ada komentar: